Kamis, 05 Desember 2019

Koruptor itu Tidak Manusiawi, Jangan Berikan Grasi




Sedikit menggegerkan publik bahkan sedang menjadi trending topik di media massa dan media sosial setelah Presiden Jokowi memutuskan untuk memberikan grasi kepada mantan Gubernur Riau, Annas Maamun yang merupakan terpidana korupsi kasus alih fungsi lahan di Provinsi Riau.

Nah, perlu diketahui bahwa Grasi adalah Hak Presiden untuk memberikan pengurangan hukuman kepada seseorang yang sedang menjalani hukuman. Seperti kasus Annas Maamun yang ditangkap bersama seorang pengusaha kelapa sawit Gulat Medali Emas Manurung di kawasan Cibubur dengan barang bukti uang 156.000 dollar Singapura dan Rp 500 juta.

Setelah melalui proses persidangan, Annas Maamun divonis enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan penjara. Akan tetapi, pada tahun 2018, ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi tujuh tahun penjara.

Maamun mendapat grasi dari Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang Pemberian  Grasi, tanggal ditetapkan tanggal 25 Oktober 2019, Jokowi memberikan Grasi yang mengurangi hukuman pidana 7 (tujuh) tahun penjara menjadi 6 (enam) tahun penjara.

Menurut Presiden Jokowi, pemberian grasi tersebut atas pertimbangan Mahkamah Agung dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Masih menurut Jokowi, jika dilihat dari kacamata kemanusiaan, Annas Maamun layak mendapatkan grasi

"Kenapa itu diberikan, karena memang dari pertimbangan MA seperti itu. Pertimbangan yang kedua dari menkopolhukam juga seperti itu. Memang dari sisi kemanusiaan memang umurnya juga sudah uzur dan sakit-sakitan terus. Sehingga dari kacamata kemanusiaan itu diberikan," kata Jokowi.

Akan tetapi, keputusan Jokowi menuai pro-kontra dan tanda tanya besar dari publik. Salah satu komentar dari Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko bahwa pemberian Grasi kepada koruptor tidak akan memberikan manfaat kepada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa, keputusan Jokowi sebagai bukti bahwa ia tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi di PT.

Di media sosial pun tidak kalah dalam menanggapi keputusan sang Presiden. Tidak sedikit yang kecewa dengan Jokowi, Jokowi dinilai hanya omong kosong dalam upaya pemberantasan korupsi. Narasi-narasinya bukan hanya membius tapi membodohi publik.

Korupsi berasal dari bahasa Latin "coruptio" dan "corruptus" yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Sedangkan dalam bahasa Yunani "corruptio" berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap,tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, materil, mental, dan umum.

Berdasarkan pemahaman Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pasalnya yang kedua yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Korupsi merupakan tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi), yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.

Oleh karena itu, secara moral, korupsi tidak dapat diterima dalam sebuah masyarakat yang beradab. Siapapun dia, harus dihukum setimpal dengan perbuatannya. Bahkan, di negara lain koruptor dirajam dan dihukum mati.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan enam dampak sosial dari korupsi. Salah satunya adalah meningkatkan kemiskinan pada sebuah negara. Kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan absolut, relatif, kultural dan struktural yang tercipta dari morat-maritnya pertumbuhan ekonomi.

Secara tidak langsung, korupsi memberikan dampak yang mengerikan terhadap angka kemiskinan. Korupsi menyebabkan ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat untuk keluar dari kemiskinan.

Selain itu, korupsi memberikan dampak negatif terhadap budaya. KPK menyebut mayoritas masyarakat Indonesia cenderung masih permisif dengan korupsi. Bahkan tidak memberikan sanksi sosial atau hukum yang memberatkan para koruptor.

Contoh nyatanya adalah Setia Novanto yang sudah beberapa kali berpelesiran padahal ia dihukum 15 tahun penjara akibat korupsi dana e-KTP. Saat ini, Jokowi pun menguatkan pendapat KPK dengan memberikan keringanan kepada Annas Maamun.

Apakah kita menganggap korupsi sebagai kejahatan tidak berbahaya? Apakah kita menganggap korupsi bukan kejahatan terhadap kemanusiaan? Mereka yang tak berdaya membayar pajak dengan rutin tetapi mereka masih hidup dalam belenggu kemiskinan.

Ingat! Korupsi adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sekali kita menghabiskan jutaan, miliaran dan triliunan rupiah untuk diri sendiri, kita mengurung banyak orang untuk tidak mendapatkan makanan, tempat tinggal, pakaian dan pendidikan yang layak. Itu jahat.

Koruptor itu tidak pernah mempedulikan sisi kemanusiaan orang-orang miskin di Indonesia. Ia, jika ia memikirkannya, pasti ia tidak terlibat dalam korupsi. Ia lebih mementingkan kepentingan dirinya dari pada masyarakat. Ia lebih memilih tinggal dengan fasilitas lengkap, makan minum serba kelebihan daripada memperhatikan mereka yang tinggal di kolong jembatan, makan seadanya bahkan kadang tidak makan dalam sehari.

Lalu, kita memberikan keringanan kepadanya berdasarkan pertimbangan sisi kemanusiaan? Koruptor layak diperlakukan tidak manusiawi karena kejahatannya benar-benar tidak manusiawi.

sumber:https://www.kompasiana.com/neno1069/5dde5e26df66a758d173c1b2/koruptor-itu-tidak-manusiawi-jangan-berikan-grasi?page=3

0 komentar:

Posting Komentar